Kamis, 10 September 2009

Rumahku adalah surgaku

Rumah bermakna tempat, bisa diartikan tempat tinggal, rumah bagi jiwa ini adalah raga, rumah bagi jiwa dan raga adalah alam ini, dan tentunya rumah yang sering kita sebut dan kita jadikan makna umum adalah rumah yang kita tempati sebagai pusat kegiatan sehari-hari untuk beraktifitas seluruh keluarga kita.

Surga, merupakan gambaran keindahan dan suasana nyaman, yang tentunya bertingkat sesuai dengan harkat dan martabatnya. Apa yang kita idamkan dalam kehidupan berumah tanga tentunya berada dalam rumah kita. Akan halnya rumah tangga dalam bersosialisasi, tentunya baik dan tidaknya juga tergantung kepada suasana dalam rumah tangga.

Persoalan demi persoalan dalam rumah tangga, hari demi hari silih berganti. Tentunya merupakan sandangan hidup. Lantas bagaimana sesungguhnya meentukan langkah dalam menjalani kehidupan ini ?. dari mana kita akan menatanya ?, apakah hidup ini memang sudah kodrad, yang harus dijalani dengan kondisi masing-masing manusia?. Mari kita bahas bersama, mungkin sedikit-demi sedikit akan terkuak..

Rumah Tangga.

Rumah tangga tentunya diawali dengan pernikahan, yaitu sebuah penyatuan dua manusia yang diikat dengan pertalian rasa. Bila kita artikan masing-kata, sesungguhnya telah memaknai maksud dari ber-rumah tangga itu sendiri, yaitu rumah berarti tempat, dan tangga berarti titian yang terdiri dari dua buah bambu berjajar yang disatukan dengan anak tangga. Lantas di mana rumah sesungguhnya ? dan apa sesungguhnya tangga itu sendiri ?.

Tangga yang terdiri dari dua buah bambu yang disejajarkan, merupakan lambang dari suami dan istri, dan anak tangganya merupakan talian rasa berdua yang saling keterkaitan, yang terikat dengan ikatan perkawinan. Makna perkawinan sesungguhnya adalah talian rasa berdua yang disyahkan dan disaksikan oleh saksi. Bersyahadat dalam perkawinan tentunya merupakan makna dari syah-nya dzat, yaitu syahnya penyatuan rasa yang berasal dari Dzat Tuhan. Maka dalam untaian hidup di utarakan bahwa awali niat dengan Basmalah. Artinya, Bismilah merupakan untaian Asma Tuhan yang dirangkum dalam rasa dan bermuara pada Dzat Tuhan, baru kemudian Hirahmanirakhim yang sebagian maknanya dalam hidup bisa diumpamakan dengan penyatuan Rahmani (Laki-laki) dan Rakhim (perempuan). Leluhur kita dahulu untuk mempermudah makna sering disinggungkan dengan makna lugas, bahwa Rahim itu tempatnya Rahmani.


Kokohnya rumah tangga tergantung kepada ikatan rasa. Yaitu rasa Rahman dan Rakhim, sedangkan Rumahnya adalah Bismilah, yaitu Makna Asmaulhusna, Asma allah yang telah kita pahami dan kita jadikan pedoman dalam melangkah hidup di muka bumi. Diantara asma Allah tersebut yaitu maha mendengar, maha halus, maha tau dll, akan tetapi perbedaan tentunya Bahwa Allah adalah Tuhan sedangkan kita makluk, sehingga kita tidak maha akan tetapi kewajaran yang semampu kita lakukan dengan menggunakan karakter halus, mau mendengar, mau tau dlsb.

Dari sinilah landasan pokok hidup baru akan dilalui, yaitu meletakkan Tangga di atas kelapangan, keiklasan dan ketulusan untuk berangkat bersama memanjat, titian arah tangga dan apa yang akan kita raih, juga merupakan yang tidak ringan. Tujuan Hidup sesungguhnya adalah Kembali Pulang, yaitu berasal dari Allah kembali kepada Allah. Bila kita bertanya dalam diri masing-masing, apakah kita telah bisa merakit tangga ? apakah kita telah bisa meletakkan tangga ? apakah kita juga telah mengarahkan tangga kepada arah sesungguhnya ?. Bila jawabannya gamang, maka sesungguhnya wajar bila rumah tangga kita juga gamang, bila jawabannya menggeleng, maka wajar bila banyak persoalan dalam rumah tangga yang sulit untuk diurai dan kusut.


Persoalan Hidup
Hakekat hidup adalah menjalani, mungkin sebagian orang sering berkata dengan landai, Sudahlah hidup ini “JALANI SAJA...”. Mungkin sebagian kita bertanya, mengapa tidak berusaha sekuat tenaga ?, dua-duanya benar, hanya, di letakkan di mana ungkapan tersebut. Manusia merupakan makluk paling sempurna di muka bumi, kesempurnaanya di letakkan dalam Akal dan Fikiran. Sedangkan akal dan fikiran hidup karena adanya Zat Mulia dari Allah yang sering disebut dengan Zat Ilahi atau Ruhul Qudus yang ada dalam diri manusia, sehingga manusia dikatakan Wali di muka bumi. Wakil Allah untuk memelihara dan memanfaatkan bumi dan isinya. Catatan... Manusia dalam memelihara dan memanfaatkan bumi dan isinya harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sebagaimana firman Tuhan dalam kitab-kitab-Nya.

Bila sebagian manusia berujar ” Hidup ini jalani saja... atau hidup ini tinggal menjalani...”. mungkin mereka mendasari, dengan keyakinan yang sangat tinggi bahwa apa yang terjadi kepada diri kita dan semua manusia, itu merupakan “ Kejadian yang terbaik ”, dan sesuai ketentuan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Tentunya hal itu sesuai dengan amal perbuatan masing-masing manusia. Sehingga dalam firman-Nya “ sekecil apapun perbuatan manusia, walaupun sebiji zarah, maka akan dibalas “, yang artinya juga bisa dimaknai “ Baik dengan baiknya, buruk dengan buruknya”.

Penyederhanaan ungkapan “ HIDUP INI JALANI SAJA”, sesungguhnya mengadung makna yang sangat dalam, di mana ungkapan tersebut terdapat perilaku sederhana, jujur, iklas dan legowo. Tentunya dalam ungkapan tersebut mempunyai implikasi “ Mencoba menikmati detik-demi detik seiring perjalanan waktu “. Nah dalam kesadaran yang demikian tinggi itulah sesungguhnya manusia mampu berfikir dengan tenang, arif, lembut dan teliti. Akhirnya manusia bisa menikmati hidup dan mengurai persoalan demi persoalan, sehingga mampu mendapatkan hakekat peristiwa yang dialami yang akhirnya mendapat manfaat dan berkah dalam setiap langkah, inikah wujud ibadah sesungguhnya..?. lantas apa yang dimaksud dengan persoalan hidup...?. sesungguhnya tergantung dari mana sisi pandang serta bagai mana mensikapinya. Mungkin demikian..?.

Yang diangankan dan yang dicita-citakan manusia adalah bahagia, selamat di dunia dan di akhirat. Dan yang ditakuti adalah persoalan. Padahal keduanya merupakan untaian setali tiga uang. Satu keping uang yang bernilai sama, hanya berbeda gambaran. Apakah akan mempersoalkan gambarnya..? atau mencoba memanfaatkannya sesuai nilainya, untuk mencapai tujuan...?, mari kita renungkan bersama.

Selangkah Seirama.
Penari tentunya akan sangat menikmati alunan nada yang dimanikan oleh Sang Pengrawit (penabuh gamelan). Sangat lucu dan membingungkan tentunya bila penari maunya sendiri. Dengan menikati gamelan itulah frekwensi yang keluar dari dentingan gamelan dan tiupan seruling menggerakkan urat saraf, sehingga lenggak lenggok Sang Penari terasa indah sesuai tinggi rendahnya nada.

Hidup dalam rumah tangga, mungkin tidaklah jauh dengan gambaran di atas. Sang titi laras sebagai penentu irama tentunya adalah sang suami, sebagai imam. Sang sinden tentunya menyesuaikan tinggi rendahnya titi laras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar