Minggu, 27 September 2009

Ketentuan

Ketika benih akan tumbuh, maka prasarat tumbuhnya adalah sesuai kadar yang ditentukan oleh benih tersebut. Berapa derajat panas yang dibutuhkan, berapa tingkat kelembaban air dan berapa tekanan air yang harus ada serta ketersediaan tanah yang subur untuk menempatkan diri.

Kadar menentukan karakter, daya tahan, kelangsungan dan akhir dari proses yang akan dilalui. Lahirnya niat demikin juga, membutuhkan suasana yang sama dengan tumbuhnya benih. Pada proses tersebut maka benih niat akan sesuai dengan karakter dominan yang ada dalam diri. Apakah dalam kelegowoan dan keiklasan? Apakah menggebu karena hasrat? Ataukan terdominasi panasnya hati dan dendamnya diri karena tidak sesuai kehendak dalam dirinya?.
Lahir, Pertemuan, Rejeki dan Maut adalah kehendak-Nya!. Kehendak-Nya adalah selalu baik dan terbaik dari apa yang ada di dunia ini. Lahirnya Niat, akan menentukan Pertemuan, apa yang diniatkan maka akan ketemu sesuai dasar dari niat tersebut, inilah Maha Rahman Rakhim Allah SWT. Persoalan waktu…? Hanya menunggu pada saat dan dimana semua unsure terpenuhi, dan itu terdominasi oleh ketentuan diri dan singkronisasi alam yang bermakna ridho dan dirihdoi…

Ketentuan berada diantara penyatuan unsure dan zat. Terdominasinya unsure dan zat tergantung keyakinan dari manusia sebagai kalifah penentu perjalanan yang dipercaya tuhan untuk mengatur alam ini. 4 unsur alam ini ada dalam diri manusia, api, angin, air dan tanah. Sedangkan hidupnya unsure zat dalam diri manusia tergantung kepada dorongan penyatuan unsure yang ada di alam ini.

Manusia yang telah bisa menyatukan unsure alam dalam dirinya maka dia dapat menyatukan dirinya terhadap alam raya ini. Pengendalian unsure dan penyatuan akan mengarah kepada nilai alamiah yang berbasis lilahitaalah yang juga menempatkan sifattulloh dalam diri. Dari sanalah ketentuan akan mulai menapakkan langkah nya dengan berpedoman kepada sidik, amanah, tablik dan fatonah.

Dasar ketentuan tentunya berawal dari langkah yang tidak terhijab oleh nafsu, dimana kodrat berjalan berdasarkan ketentuan Tuhan, dan bukan mendasari keinginan diluar dari kodrati ilahiah.

Pencapaian pematangan diri sering terjadi karena pergulatan hidup antara keinginan dan hakikiah keaslian sifat Allah dan Rosul. Dimana perilaku akan saling berperang dalam rangka penentuan diri dalam melangkah menuliskan amal perbuatan. Disana juga bagian dari Tuhan menunjukan jalan terbaik kepada Manusia. Melalui apapun baik pergulatan maupun ketenangan.

Duduk dalam ketentuan bukan berarti duduk tanpa pergolakan, akan tetapi juga bukan berarti selalu bergolak. Ada dalam rasa tunggal tenang dan waspada merupakan etikat diri. Tabah dan sadar dengan sepenuh kesadaran yang mampu diciptakan merupakan awal rahman rahkim yang mengarah kepada perjalanan sesungguhnya.

Ketentuannya ada dalam garisan, goresan dan lisan.

Garisan adalah ketentuan Hakikiah, Goresan adalah langkah yang telah diukir siang dan malam baik dalam rasa maupun fikiran dan perbuatan sedangkan lisan merupakan ketentuan ucapan yang telah disabdakan kepada alam semesta sebagai bentuk kepastian diri baik sengaja diucap maupun tidak.

Wasalam.

Jumat, 11 September 2009

Kota Tanpa Cinta dan Hutan Tanpa Air Mata

Kota Tanpa Cinta dan Hutan Tanpa Air Mata


Separoh nafas yang tersengal sebagian orang arif menyebutnya dengan Bunuh Diri. Beratnya helaan nafas terasa sampai kejantung, rupa penyesalan, tidak terima, tidak bersyukur, sampai kepada putus asa. Getaran penyesalan pertanda perjalanan proses bersyukur telah terhijab, dan akan merubah sifat dalam system syaraf untuk berbelok kepada derajat arah. Gerakan itulah yang akan menjadikan perubahan rasa dan kepekaan terhadap isyarat dan tanda-tanda tuhan yang di larutkan dalam sifat latifah.


Cinta ada diantara rasa suka, meletakkan cinta kepada kefanaan yang ada di muka bumi mau tidak mau, suka tidak suka harus menenerima perubahan, baik ataupun buruk, enak maupun senang. Sesungguhnya rasa senang dan cinta adalah sarana awal niat untuk memulai dan bukan sebuah tujuan dari arah yang di tuju. Cinta adalah sarana proses perjalanan untuk mengenal, proses berikutnya adalah perubahan sifat cinta menjadi kasih sayang, dimana dalam proses tersebut terbentuk pemahaman dan keiklasan untuk melepaskan ego dan kepemilikan. Dalam proses kasih sayang tercipta sifat menghargai, memeilhara, dan menumbuh kembangkan untuk kelestarian. Kasih sayang yang telah meleburkan sifatnya dalam imbal balik penyatuan akan menumbuhkan rasa tak berbeban, iklas tanpa batas.


Tanpa Cinta terhadap apapun yang ada dalam keramaian hiruk pikuk duniawi, memaknai hidup kedalam kasih sayang hakikiah nuraniah tanpa syarat. Sehingga penyesalan dan air mata pun akan hilang, bersama kerelaan, keiklasan dan keridhoan akan semua hal yang terjadi merupakan rahmat Tuhan Alam Semesta. Datang dan pergi adalah kehendaknya dengan sifat Lilahitaallah-Nya. Ada dan tiada juga kehendak-Nya. Semua terukur dengan ketentuan kepastian CUKUP.
Akhir pencarian hanya ada dalam ketenangan dan kejernihan, keiklasan dan kekhusukan menjalani kodrati Agung. Inilah kemuliaan sesungguhnya dan bukan kemunafikan.

Diantara Kota dan Hutan, diantara keramaian keinginan dan sunyinya nurani tercipta keteduhan dalam naungan-Nya. Kota Tanpa Cinta dan Hutan Tanpa Air Mata.


-->Jumat Wage<--

Kamis, 10 September 2009

Bismilahirahmanirahim...

BISMILAHIRAHMANIRAHIM....

Memandang jauh tanpa batas, melepas rasa tanpa kehendak.
Jauh dilubuk sanubari setiap insan hidup dimuka bumi memiliki getaran rasa yang sulit untuk dipungkiri, yaitu Hak nurani untuk mengatakan kebenaran, kejujuran, keiklasan. bahasa inilah yang sanggup melewati dinding setebal lapisan bumi, setinggi lapisan langit.

Awal niat merupakan tanda yang dibaca oleh seluruh insan dan unsur di muka bumi. Diridhoi ataukah akan terhalang tergantung niat yang dipancarkan apakah selaras dengan dominasi alam dan kondisi yang sedang berlangsung. Perbedaan merupakan rahmat Tuhan kepada kehidupan yang ada di alam ini. dengan itulah sitem kehidupan berjalan saling kait-mengkait, ketergantungan sehingga menciptakan kesinambungan saling melengkapi. Kehidupan yang berjalan di alam ini merupakan karya perbedaan. Rahman Rakhim. Kasih merupakan tuangan rasa tanpa beban dan kehendak tidak membebani.

Sayang merupakan ikatan rasa memelihara, menghargai dan mengagungkan dan tidak merusak, meremehkan dan menghinakan. Dikala perilaku indrawi manusia berawal dalam posisi itu, maka bahasa rasa tersebut akan tercermin dan diterima oleh seluruh unsur alam baik manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya dengan bahasa yang sama. maka yang terjadi adalah ridho dan meridhoi. Semakin dalam rasa tumbuh dalam diri dan semakin halus getaran rasa tersebut, maka semakin tinggi derajad rasa yang dapat tertembus oleh getaran tersebut. Hal ikhwal itulah yang mungkin menggaris bawahi sebuah perbuatan dan perilaku manusia harus dengan Bismilahirahmanirahim. Dan bila sebaliknya maka yang akan terjadi adalah juga sebaliknya. Sering kita mendengar “ Mengapa ya niat baik ku malah mendapat hal yang tidak baik “, mari koreksi bersama, apakah telah berniat dengan benar ?. Amal perbuatan insan di muka bumi ini katanya “Tidak akan tertukar walaupun sebiji zarah”. Dan nilai perbuatan sesungguhnya tergantung niatnya. Bila berkaca dari sini maka “Hak tidak akan kemana”, Rezeki tidak akan tertukar, tidak usah berebut, saling sikut bahkan saling menghacurkan.

Hal kecil yang sering kita lakukanpun rasanya juga tidak perlu, yaitu berharap-harap. Bekerja sajalah sebaik mungkin, berperilaku sajalah seiklas mungkin dan yakini bahwa hak tidak akan tertukar. Tuhan Maha Adil, tidak usah meremehkan Tuhan dengan sikap ragu dan bimbang. Rasanya tidak bisa kita pungkiri, Terlalu sering kebimbangan dan keraguan menjadikan Imam dalam hidup kita. Wajar bila yang kita dapatkan kekecewaan, karena dengan keraguan telah menyesatkan langkah, dengan kebimbangan telah membelokkan tujuan. Rasa syukur memang sangat tidak mudah. Sebelum bisa berlaku Rahman Rakhim, sulit rasanya bisa bersyukur, apalagi bisa mensyukuri nikmat. Dikala manusia tidak berlaku rahman rahim maka reaksi alamiah di alam ini adalah tidah rahman rahim juga terhadap diri kita. Dan dikala kita dapati apa yang disekitar kita selalu tidak menyenangkan dan menenangkan hati, rasanya akan sangat sulit untuk mengatakan itu nikmat dan bersyukur.

Bismilahirahmanirahim dan Alhamdulilah yang terurai di atas sesungguhnya rangkaian 7 (tujuh ayat) Al-Fatikah, dimana masing-masing tahap dari awal ayat sampai ayat ke 7 (tujuh) merupakan makna dan hakekat perjalanan manusia sebagai Kalifah di muka bumi. Masing-masing ayat merupakan rangkaian langkah demi langkah, tahap demi tahap yang harus dititi dan dilalui dan menjadikan karakter dan sifat. Konsekwensi hidup memang tidak mudah. Berlaku adil terhadap diri, jiwa dan raga adalah titik awal kearifan. Butuh perhelatan yang panjang untuk mengenal diri. Butuh salah dan benar untuk sanggup memilah. Dan butuh keyakinan yang kuat untuk bertahan. Selama susah, senang, sedih dan gembira masih dipersoalkan dalam kehidupan kita, rasanya sangat sulit memegang keyakinan bahwa Tuhan Maha Adil. Bismilah Rahman Rahim kah kita terhadap diri sendiri ? sejauh manakah selama ini kita mengenal diri sendiri ? Ada pepatah “Debu di sebrang lautan nampak, Gajah dipelupuk mata tidak kelihatan”.

Batas memandang adalah bayangan, dimana cahaya berasal dari angan yang mengembang. Terangi diri, jernihkan rasa, bentangkan kerendahan, disana akan terlihat siapa diri ini. Terlalu besar memandang diri akan semakin terlihat kecil disudut mata sesama. “Bacalah, Bacalah atas Nama Tuhanmu”, inilah awal surat dalam Al-Quran. Dikala sujud, kepala memahami unsur tanah, pikiran diletakkan dalam kelegowoan, kesederhanaan, nrimo, landai dan tegar. Kesucian pikiran di mulai dari kondisi paling mendasar, karena pikiran menuntun nurani dan nurani di tuntun pikiran. Ranah ke-Iman-an pun terbangun dari pemahaman pemikiran yang dimulai dari kesadaran. Dan kesadaran terbangun dari kesederhanaan yang berjalan pada titian ketenangan jiwa. Dengan menyebut Nama Allah.... Asma Allah adalah pancaran kebesaran-Nya. Asma Allah dirangkum dalam Sifat-Nya. Sifat-Nya adalah pancaran dari Zat-Nya. Bacalah atas nama Tuhanmu. Membaca dengan menggunakan Sifat-Nya. Wisanggenie. 1 Muharam 1430 H Bersambung...

Rumahku adalah surgaku

Rumah bermakna tempat, bisa diartikan tempat tinggal, rumah bagi jiwa ini adalah raga, rumah bagi jiwa dan raga adalah alam ini, dan tentunya rumah yang sering kita sebut dan kita jadikan makna umum adalah rumah yang kita tempati sebagai pusat kegiatan sehari-hari untuk beraktifitas seluruh keluarga kita.

Surga, merupakan gambaran keindahan dan suasana nyaman, yang tentunya bertingkat sesuai dengan harkat dan martabatnya. Apa yang kita idamkan dalam kehidupan berumah tanga tentunya berada dalam rumah kita. Akan halnya rumah tangga dalam bersosialisasi, tentunya baik dan tidaknya juga tergantung kepada suasana dalam rumah tangga.

Persoalan demi persoalan dalam rumah tangga, hari demi hari silih berganti. Tentunya merupakan sandangan hidup. Lantas bagaimana sesungguhnya meentukan langkah dalam menjalani kehidupan ini ?. dari mana kita akan menatanya ?, apakah hidup ini memang sudah kodrad, yang harus dijalani dengan kondisi masing-masing manusia?. Mari kita bahas bersama, mungkin sedikit-demi sedikit akan terkuak..

Rumah Tangga.

Rumah tangga tentunya diawali dengan pernikahan, yaitu sebuah penyatuan dua manusia yang diikat dengan pertalian rasa. Bila kita artikan masing-kata, sesungguhnya telah memaknai maksud dari ber-rumah tangga itu sendiri, yaitu rumah berarti tempat, dan tangga berarti titian yang terdiri dari dua buah bambu berjajar yang disatukan dengan anak tangga. Lantas di mana rumah sesungguhnya ? dan apa sesungguhnya tangga itu sendiri ?.

Tangga yang terdiri dari dua buah bambu yang disejajarkan, merupakan lambang dari suami dan istri, dan anak tangganya merupakan talian rasa berdua yang saling keterkaitan, yang terikat dengan ikatan perkawinan. Makna perkawinan sesungguhnya adalah talian rasa berdua yang disyahkan dan disaksikan oleh saksi. Bersyahadat dalam perkawinan tentunya merupakan makna dari syah-nya dzat, yaitu syahnya penyatuan rasa yang berasal dari Dzat Tuhan. Maka dalam untaian hidup di utarakan bahwa awali niat dengan Basmalah. Artinya, Bismilah merupakan untaian Asma Tuhan yang dirangkum dalam rasa dan bermuara pada Dzat Tuhan, baru kemudian Hirahmanirakhim yang sebagian maknanya dalam hidup bisa diumpamakan dengan penyatuan Rahmani (Laki-laki) dan Rakhim (perempuan). Leluhur kita dahulu untuk mempermudah makna sering disinggungkan dengan makna lugas, bahwa Rahim itu tempatnya Rahmani.


Kokohnya rumah tangga tergantung kepada ikatan rasa. Yaitu rasa Rahman dan Rakhim, sedangkan Rumahnya adalah Bismilah, yaitu Makna Asmaulhusna, Asma allah yang telah kita pahami dan kita jadikan pedoman dalam melangkah hidup di muka bumi. Diantara asma Allah tersebut yaitu maha mendengar, maha halus, maha tau dll, akan tetapi perbedaan tentunya Bahwa Allah adalah Tuhan sedangkan kita makluk, sehingga kita tidak maha akan tetapi kewajaran yang semampu kita lakukan dengan menggunakan karakter halus, mau mendengar, mau tau dlsb.

Dari sinilah landasan pokok hidup baru akan dilalui, yaitu meletakkan Tangga di atas kelapangan, keiklasan dan ketulusan untuk berangkat bersama memanjat, titian arah tangga dan apa yang akan kita raih, juga merupakan yang tidak ringan. Tujuan Hidup sesungguhnya adalah Kembali Pulang, yaitu berasal dari Allah kembali kepada Allah. Bila kita bertanya dalam diri masing-masing, apakah kita telah bisa merakit tangga ? apakah kita telah bisa meletakkan tangga ? apakah kita juga telah mengarahkan tangga kepada arah sesungguhnya ?. Bila jawabannya gamang, maka sesungguhnya wajar bila rumah tangga kita juga gamang, bila jawabannya menggeleng, maka wajar bila banyak persoalan dalam rumah tangga yang sulit untuk diurai dan kusut.


Persoalan Hidup
Hakekat hidup adalah menjalani, mungkin sebagian orang sering berkata dengan landai, Sudahlah hidup ini “JALANI SAJA...”. Mungkin sebagian kita bertanya, mengapa tidak berusaha sekuat tenaga ?, dua-duanya benar, hanya, di letakkan di mana ungkapan tersebut. Manusia merupakan makluk paling sempurna di muka bumi, kesempurnaanya di letakkan dalam Akal dan Fikiran. Sedangkan akal dan fikiran hidup karena adanya Zat Mulia dari Allah yang sering disebut dengan Zat Ilahi atau Ruhul Qudus yang ada dalam diri manusia, sehingga manusia dikatakan Wali di muka bumi. Wakil Allah untuk memelihara dan memanfaatkan bumi dan isinya. Catatan... Manusia dalam memelihara dan memanfaatkan bumi dan isinya harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sebagaimana firman Tuhan dalam kitab-kitab-Nya.

Bila sebagian manusia berujar ” Hidup ini jalani saja... atau hidup ini tinggal menjalani...”. mungkin mereka mendasari, dengan keyakinan yang sangat tinggi bahwa apa yang terjadi kepada diri kita dan semua manusia, itu merupakan “ Kejadian yang terbaik ”, dan sesuai ketentuan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Tentunya hal itu sesuai dengan amal perbuatan masing-masing manusia. Sehingga dalam firman-Nya “ sekecil apapun perbuatan manusia, walaupun sebiji zarah, maka akan dibalas “, yang artinya juga bisa dimaknai “ Baik dengan baiknya, buruk dengan buruknya”.

Penyederhanaan ungkapan “ HIDUP INI JALANI SAJA”, sesungguhnya mengadung makna yang sangat dalam, di mana ungkapan tersebut terdapat perilaku sederhana, jujur, iklas dan legowo. Tentunya dalam ungkapan tersebut mempunyai implikasi “ Mencoba menikmati detik-demi detik seiring perjalanan waktu “. Nah dalam kesadaran yang demikian tinggi itulah sesungguhnya manusia mampu berfikir dengan tenang, arif, lembut dan teliti. Akhirnya manusia bisa menikmati hidup dan mengurai persoalan demi persoalan, sehingga mampu mendapatkan hakekat peristiwa yang dialami yang akhirnya mendapat manfaat dan berkah dalam setiap langkah, inikah wujud ibadah sesungguhnya..?. lantas apa yang dimaksud dengan persoalan hidup...?. sesungguhnya tergantung dari mana sisi pandang serta bagai mana mensikapinya. Mungkin demikian..?.

Yang diangankan dan yang dicita-citakan manusia adalah bahagia, selamat di dunia dan di akhirat. Dan yang ditakuti adalah persoalan. Padahal keduanya merupakan untaian setali tiga uang. Satu keping uang yang bernilai sama, hanya berbeda gambaran. Apakah akan mempersoalkan gambarnya..? atau mencoba memanfaatkannya sesuai nilainya, untuk mencapai tujuan...?, mari kita renungkan bersama.

Selangkah Seirama.
Penari tentunya akan sangat menikmati alunan nada yang dimanikan oleh Sang Pengrawit (penabuh gamelan). Sangat lucu dan membingungkan tentunya bila penari maunya sendiri. Dengan menikati gamelan itulah frekwensi yang keluar dari dentingan gamelan dan tiupan seruling menggerakkan urat saraf, sehingga lenggak lenggok Sang Penari terasa indah sesuai tinggi rendahnya nada.

Hidup dalam rumah tangga, mungkin tidaklah jauh dengan gambaran di atas. Sang titi laras sebagai penentu irama tentunya adalah sang suami, sebagai imam. Sang sinden tentunya menyesuaikan tinggi rendahnya titi laras.